Menakar Visi Pengelolaan Tambang NU

Menakar Visi Pengelolaan Tambang NU

Oleh: Abdul Ghopur

Di era globalisasi ini kebutuhan akan sumber daya alam (energi) sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia di seluruh dunia (termasuk Indonesia), tak terkecuali kebutuhan akan tambang mineral dan batubara (minerba). Di samping sumber energi lainnya, minerba kini memiliki peranan yang sangat penting dalam peta jalan (road map) pemenuhan sumber energi dunia. Kebutuhan akan hasil tambang (minerba), khususnya batubara dan nikel untuk memenuhi kebutuhan bauran energi domestik dan mendukung industri hilir pun menjadi tak terbantahkan.

Sebab, hasil tambang lainnya seperti minyak bumi makin menipis (langka). Jika pun ditemukan titik-titik baru, biaya untuk eksplorasinya saja mahal sekali. Itu belum sampai tingkat eksploitasi, produksi, distribusi-penjualan dan pemanfaatannya serta tanggungan reklamasi/cost recovery ditambah biaya tenaga ahli (ekspert). Titik-titik lama yang ada, sudah terlalu tua dan tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan (dieksploitasi) lagi. Butuh waktu puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun untuk peremajaan hasil fosil bumi tersebut.

Sebagai catatan, batubara menyumbang sekitar (±) 67%  pemenuhan sumber energi utama di Indonesia terutama untuk pembangkit listrik sebagai bahan bakarnya (Juanda Volo Sinaga, Ditjenminerba, 03/10/2024). Hal ini menyiratkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada penggunaan bauran energi yang satu ini sebagai fondasi utamanya. Sedangkan nikel mulai menjadi primadona sebagai bahan baku strategis untuk industri baterai kendaraan berbahan bakar listrik yang sedang berkembang pesat. Oleh karena itu kebutuhan akan sumber minerba ini seolah menjadi tulang puggung dalam menggerakkan roda ekonomi, dan pengolahan serta produksinya tengah terus ditingkatkan (digenjot) untuk kebutuhan industri dalam negeri dan ekspor.

Untuk memenuhi kebutuhan ekspor batubara ke China saja setidaknya Indonesia harus menyuplai 14.285.823 ton sampai kuartal April 2025 (Indonesian Mining Association/ima, 22/05/2025), meski tren ini menunjukkan penurunan (anjlok) 20% dari sebelumnya. Hal ini disebabkan/disinyalir akibat adanya Harga Batubara Acuan (HBA) baru yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia dan harga batubara domestik di China sendiri yang rendah, di samping preferensi kontrak dan dinamika pasar di negara tujuan. Ditambah pula adanya kebijakan domestic market obligation (DMO) melalui Kepmen ESDM No.225.K/30/MEM/2020. tentang kewajiban perusahaan pertambangan batubara untuk mengarusutamakan sebagian pasokan produksinya (minimal 25%) untuk kebutuhan sumber energi dalam negeri, seperti untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan sektor strategis lainnya untuk memastikan ketersediaan/stok pasokan batubara dalam negeri terjamin.

Data-data di atas sesungguhnya mengindikasikan bahwa dalam sektor energi (khususnya minerba), Indonesia tengah mengalami perubahan besar dan kemajuan pesat. Meskipun di saat bersamaan Indonesia dihadapkan pada dilema dan tantangan serta tekanan global tentang kesepakatan internasional penggunaan energi baru-terbarukan atau energi bersih ramah lingkungan, sebagai komitmen pemerintah melakukan transisi energi serta respon terhadap isu perubahan iklim global. Di samping kebutuhan energi domestik yang terus meningkat serta laju pertumbuhan konsumsi energi nasional yang menunjukan tren peningkatan dan cenderung boros. Padahal, sumber energi batubara saat ini memainkan peran yang sangat krusial sebagai sumber devisa negara yang besar dari kegiatan ekspor.

Pertanyaan besarnya adalah, apakah Indonesia benar-benar mampu menguasai (merajai) pasar energi global serta menjadi pendulum besar dalam sektor energi? Apakah Indonesia bisa menjadi penentu geopolitik dalam konstelasi perubahan global yang tak menentu (tak terbayangkan) pada skala lini sebagai turunannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya harus dijawab secara pasti di tengah ketidakpastian global. Apalagi pemerintah yang terpilih saat ini sedang menggencarkan program  hilirisasi (peningkatan nilai tambah) khususnya di sektor industri energi minerba sebagai program strategis nasional. 

Indonesia saya yakin memiliki skema serta road map tata-kelola energi nasional terpadu yang matang dalam menyiasati peta percaturan energi global. Diantara sekian banyak skema kebijakan energi nasional, pemerintah berusaha menggandeng banyak stake holder termasuk diantaranya organisasi-organisasi kemasyarakatan-keagamaan besar pendiri republik di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah-satu ormas-keagamaan terbesar di Indonesia yang baru-baru ini mendapatkan konsesi pengelolaan pertambangan sebagai kebijakan afirmatif pemerintah. Melalui Peraturan Pemerintah (PP). No.25/2024 (perubahan atas PP.No.96/2021) pemerintah memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada NU untuk terlibat secara langsung/aktif dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan/pengelolaan sumber alam (SDA), khususnya bekas lahan tambang dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemanfaatan SDA yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung dan luas.

Pengurus Besar Nahlatul Ulama (PBNU) sebagai organisasi (jam’iyyah) resmi NU yang merpresentasikan ratusan juta umatnya (Nahdliyyin-Nahdliyyat), akan mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) bekas lahan PT. Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur yang luasannya mencapai 26 ribu hektare (ha). Lahan seluas ini tentu tidak bisa dibilang besar atau kecil sekaligus. Pertanyaannya, apakah NU mampu? Apakah NU sudah memiliki visi pengelolaan tambang yang holistik? Apakah NU memiliki skema dan road map tata-kelola energi terpadu yang selaras dengan program pemerintah dan tentunya yang selaras dengan perkembangan zaman, yakni kelestarian lingkungan (ekologi yang keberlanjutan)? Sebab, pengelolaan tambang tidak semata faktor keuntungan ekonomis saja, melainkan kelestarian alam yang harus dijaga di samping pelibatan masyarakat sekitar tambang (local indigenous) sebagai afirmasi rasa keadilan. Jangan sampai masyarakat lokal lagi-lagi hanya menjadi penonton dan menjadi korban kerusakan alam, dampak dari tata-kelola tambang yang buruk (bad mining) seperti selama ini.

Sebagaimana kekhawatiran sekaligus harapan banyak pihak, saya juga merasakan hal yang sama, apakah NU akan mampu mengelola tambang dengan cara yang baik (good mining) dan berkeadaban serta selaras dengan visi kelestarian ekologi/lingkungan (baik alamnya maupun sosialnya), sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku? Kekhawatiran dan harapan banyak pihak itu wajar adanya tetapi tentu saja tidak boleh berlebihan, terlebih jika melihat jasa, bakti dan bukti NU terhadap bangsa dan negara selama ini, sejak embrio sampai Indonesia menjadi negara bangsa besar seperti sekarang ini. Ukiran sejarah yang ditorehkan oleh NU selama ini tentu telah begitu banyak memberikan pengorbanan sekaligus kontribusi yang sangat besar untuk negara, dan akan selalu menentukan nasib serta arah republik ini ke depan yang lebih baik. Artinya suatu kewajaran jika pemerintah memiliki kebijakan afirmatif terhadap NU (juga ormas-ormas lain pendiri republik), dalam hal ini pemberian konsesi pertambangan.

Dalam hal ini tentu NU tidak gegabah dan sebaliknya responsibel. NU sudah lama memiliki skema besar pengelolaan SDA yang terangkum menjadi 3 (tiga) hal mendasar yakni: Api (tambang), Air (laut/sungai), Rumput (hutan) tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang saja, melainkan harus dikuasai secara bersama-sama, untuk kemanfaatan/kemaslahatan orang banyak. Dalam aspek teknis eksplorasinya setidaknya harus mempertimbangkan 3 (tiga) aspek: 1. Eksplorasi pertambangan harus memperhitungkan pembagian keuntungan yang adil. 2. Rentang atau batas waktu eksplorasi. 3. Rentang luasan lokasi pertambangan yang diatur secara seksama dengan mempertimbangkan dampak-dampak bagi alam dan masyarakat di sekitarnya.

Di samping itu NU memiliki jaringan perangkat organisasi yang mengakar sampai tingkat desa, lembaga-lembaga layanan masyarakat di berbagai bidang yang dapat menjadi saluran efektif sumber daya ekonomi, NU telah mempersiapkan infrastruktur serta jaringan bisnis yang kuat, sumber daya manusia yang andal, dan manajemen yang profesional, transparan serta akuntabel, baik dalam pengelolaan maupun pemanfatannya sebagai rasa tanggungjawab.

Dus, NU tidak akan mungkin merusak bangunan kenegaraan dan kebangsaan yang ia bidani sendiri bersama elemen bangsa lainnya. NU tidak akan mungkin merusak alam dan rumah bersama ini hanya demi ”keuntungan kecil.” Yang jelas,  NU akan menolak keras kegiatan penglolaan tambang yang merusak alam (NU menolak bad mining) yang menjadi landasan, kaidah serta sikapnya selama ini yakni: ”Menolak/menghindari kerusakan lebih utama ketimbang kemanfaatannya (Dar’ul mafasidi muqoddamun’alal-jalbil mashalih).” Hal ini penting agar menjaga alam dari kerusakan.

Lagi pula, tujuan kebijakan afirmatif pemerintah ini tak lain adalah pemberdayaan ormas-keagamaan yang selama ini telah berkorban besar, merawat dan menjaga negara kesatuan republik Indonesia. Tanpa adanya mereka, Indonesia Merdeka belum tentu ada. Tujuan ini sama artinya pemberdayaan umat dan masyarakat luas secara langsung yang selama ini hanya dinikmati oleh segelintir kelompok kecil saja (oligarki). Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah kaidah-kaidah serta aspek etika dalam pengelolaan tambang yang bertanggungjawab dan berkelanjutan serta keselarasannya dengan alam dan sosial. Semua pihak harus bijak dalam menyikapi hal ini dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan etika. Semua ini demi kemandirian pengelolaan energi nasional berbasis keadilan dan rakyat banyak![]

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa,

Inisiator Kedai Ide Pancasila; Pendiri Indonesia Young Leaders Forum.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *